Friday 20 May 2016

#13 Tentang Gitar, Anak Kucing, dan Gudang Tua

A spin-off from this on-going story I write "4: The Misfortunes of Us"
Please give it a read if you may :)


***



Belakangan ini Audy menemukan dirinya dibuat penasaran setengah mati oleh seorang senior aneh bernama Panji.

Panji Suryoatmodjo. 12 IPS 1. Kacamata. Hoodie kedodoran. Sepatu lusuh. Rambut berantakan. Gitar. Kata-kata itu mungkin merupakan sekian hal yang akan kalian dengar kalau kalian bertanya siapa itu Panji kepada siswa siswi SMA Pelita Bangsa.

Panji selalu datang tepat saat bel sekolah berbunyi membawa motor vespanya yang terlihat antik dengan tas gitar nangkring di bahunya yang kurus. Rambutnya tidak pernah rapi dan dibiarkan jatuh menutupi setengah lensa kacamata yang ia kenakan. Sepatunya lusuh dan seragamnya selalu dilapisi hoodie kedodoran yang hampir setiap minggu berganti warna dan sablonan.

Audy mengenal Panji di suatu Senin saat upacara bendera. Perkenalan mereka bukan perkenalan klise seperti di novel-novel teenlit. Tidak. Panji bukan si anak badung yang habis memanjat pagar sekolah karena terlambat dan terpaksa bersembunyi di barisan adik kelas agar tidak ketahuan guru kalau dia tidak memakai atribut upacara yang lengkap. Panji datang ke lapangan dengan santai setelah memarkirkan vespanya, ia bahkan tidak melepas hoodie kuning cerah yang dikenakannya hari itu dan langsung berdiri di barisan paling belakang kelas 11 IPS 1. Tepat disebelah Audy.

Audy penasaran kenapa Panji bisa-bisanya ikut upacara dengan memakai hoodie seperti itu tanpa ditegur guru.

“Audy Salsabila Irawan?” kemudian Panji berbisik saat Pembukaan UUD 1945 tengah dibacakan di depan sana.

Audy tidak yakin apakah Panji sedang berbicara dengan dirinya, tapi memangnya ada Audy Salsabila Irawan lain di sekolah ini selain dirinya?

“Iya, Kak?” Audy balas berbisik.

“Gak apa. Cuma pengen memastikan kamu masih ingat nama kamu sendiri atau nggak. Siapa tau kamu mengalami amnesia parsial”

Panji nyengir sementara Audy hanya berdiri disitu menatap Panji dengan kebingungan yang amat sangat.

***

Di lain hari, Audy menemukan Panji di depan kelasnya memeluk gitar dan memetik senarnya dengan lembut.

“Audy Salsabila Irawan. Halo” Panji menyapanya dengan senyuman yang sama persis dengan yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka.

Audy yang kala itu baru kembali dari kantin bersama Sharon dan Rena hanya bisa melengkungkan senyum aneh atas kehadiran sang senior di depan kelasnya. “Kak, panggilnya Audy aja”

Ia bisa mendengar Sharon terkikik pelan disisinya, sementara Rena hanya cengengesan. Lalu dengan kurangajarnya, kedua temannya itu pamit meninggalkannya berdua dengan Panji dengan alasan yang sungguh sangat tidak natural (Sharon: “Dy, gue balik kelas ya. Mau ngerjain LKS dulu, bye” Sharon tidak pernah mengerjakan LKS di sekolah, ia selalu menyelesaikan PR-nya di rumah) (Rena: “Gue masuk ya, Dy. Mau ketemu sama Rangga” Rangga tidak sekelas dengan Rena, Rangga sekelas dengan Sharon).

“Teman kamu jujur-jujur ya?” komentar Panji sesaat setelah Sharon dan Rena meninggalkan mereka berdua.

“Hah? Maksudnya?” Audy tambah melongo.

“Mereka gak jago ngeles, kelihatan banget lagi bohong” Panji terkekeh lalu bangkit dari bangku kayu yang didudukinya sedari tadi. “Yaudah, saya pamit dulu ya? Saya tadi kesini cuma mau memverifikasi informasi kalau kamu emang Audy Salsabila Irawan yang baris disebelah saya pas upacara Senin kemarin”

“O…kay” Audy mengangguk pelan seraya menatap Panji yang melangkah menuju tangga. “Balik kelas, Kak?”

Panji berhenti sejenak lalu menoleh kearah Audy. “Nggak. Mau ngamen”

Hanya itu, lalu ia bergerak cepat menaiki tangga.

Audy masih terdiam di tempatnya, menatap Panji hingga punggung cowok itu menghilang dibalik belokan tangga menuju lantai tiga. Hari ini hoodie-nya ganti lagi. Warna biru tua.

***

Dari desas-desus warga sekolah, Audy berhasil menyimpulkan satu hal tentang senior aneh bernama Panji ini. Dia sangat jago ngeles. Ingat bagaimana Panji bisa ikut upacara dengan mengenakan hoodie-nya yang berwarna kuning cerah itu? Panji bilang kepada guru bahwa ia sedang mengalami alergi dan kulitnya akan gatal-gatal kalau terkena udara luar dan sinar matahari (yang Audy heran, kenapa sang guru dengan mudahnya percaya). Panji juga selalu punya 1001 alasan setiap kali ia tertangkap oleh kesiswaan karena atribut seragamnya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Entah itu gespernya rusak karena dipakai buat melempar anjing yang mengejarnya saat perjalanan ke sekolah, kaus kakinya yang hilang dicuri tetangga dari jemuran di rumahnya, sampai sepatunya yang bolong digigiti tikus jadi ia terpaksa mengenakan sepatu berwarna tidak hitam hari itu. Intinya, ia hampir selalu lolos dari pengawasan para guru kesiswaan tersebut.

Selain itu, dari desas-desus yang sama Audy juga mengetahui kebiasaan aneh Panji, yaitu menghilang. Bukan menghilang secara tiba-tiba seperti jin, tapi Panji seringkali ditemukan ngeloyor keluar kelas bersama gitarnya saat jam makan siang dan tidak kembali lagi sampai jam pelajaran terakhir. Tidak ada yang tahu pasti anak itu kemana, dan tidak ada juga yang mau repot mencari tahu.

Tapi Audy ingin tahu.

Jadi hari ini, Audy diam-diam menyelinap keluar kelas tepat saat bel makan siang berbunyi dan menunggu di balik tembok dekat kelas Panji berada.  Begitu dilihatnya sosok Panji keluar kelas dengan gitarnya, Audy langsung membuntuti cowok itu dari belakang.

Panji menaiki tangga. Audy mengikuti.

Panji berbelok kearah lab komputer. Audy masih mengikuti.

Panji memasuki bagian lorong tersepi diseluruh area SMA Bangsa. Audy terus mengikuti meski perasaannya mulai tidak enak.

Panji memasuki ruangan gudang di pojok lantai tiga. Audy menghentikan langkahnya.

Ngapain dia ke gudang?

Audy melangkah dengan ragu menuju pintu gudang. Di dengarnya Panji seperti berbicara dengan seseorang (atau sesuatu?) kemudian tak lama, suara petikan gitar pun terdengar. Lalu disusul dengan satu suara lagi; suara Panji yang sedang menyanyikan sebuah lagu.

Audy memberanikan diri mengintip dari balik pintu gudang yang setengah terbuka. Dilihatnya Panji sedang duduk di salahsatu bangku tua, bersama gitarnya, bernyanyi. Di hadapannya ada kotak kardus bekas berisi anak-anak kucing yang mengeong pelan mengiringi lagu yang sedang ia mainkan.

“Halo, Audy”

Audy tersentak saat Panji berhenti bermain dan menoleh kearahnya dengan sebentuk cengiran di wajahnya. Mata cowok itu terlengkung seperti bulan sabit dibalik lensa kacamata yang dikenakannya, dan saat itu Audy merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari tempo yang seharusnya.

“M-maaf kak. Aku… Aku..”

“Sini yuk. Kenalan sama teman-teman saya”

Sebuah undangan. Audy masih terdiam di depan pintu menatap Panji, lalu anak-anak kucing kecil yang mengeong halus di sebuah kotak kardus bekas.

“Ayo, gak usah malu-malu” Panji menatap Audy dengan sorot hangat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Audy luluh.

“Sini duduk,” Panji menarik satu bangku lagi ke sisinya dan menepuk-nepuknya. Lagi-lagi sebuah undangan.

Audy menyerah, ia melangkah masuk ke dalam gudang tersebut dan duduk di bangku sebelah Panji sementara Panji lanjut bersenandung untuk anak-anak kucing yang tampaknya yatim piatu itu. Dan untuk Audy.

Andai matamu melihat aku
Terungkap semua isi hatiku
Alam sadarku, alam mimpiku
Semua milkmu, andai kau tau…


Nowplaying: Nidji - Rahasia  Hati

No comments:

Post a Comment