Thursday 29 October 2015

#7 Puisi Dini Hari // A Poem from the Dawn

Pukul 3 pagi itu elegi
Jika tidak bagi kalian, bagiku iya
Pukul 3 pagi yang ada hanya sunyi
Memperkuat suara-suara dalam kepala yang tak henti-hentinya berbunyi
Mencoba mengaburkan garis antara kenyataan dan imaji

Pukul 3 pagi itu penuh kontemplasi
Apa kau akan bangun pukul 6 nanti lalu mandi dan menyongsong hari
Atau memilih untuk tidur lagi hingga petang menyambangi

Pukul 3 pagi aku tidak sedang bermimpi
Tapi kenapa,
Kenapa aku bisa merasakan hadirmu disini?

//

But I love you when it was 4 am
And you were lying next to me
Eyes wide open
Consumed by your thoughts
Then you looked at me
And we closed our eyes
Intertwined our hands
And in that moment, baby
I know
That I want to consume your 4 am thoughts each moment in my life
In that moment, baby, I swear that gravity is not working for me and you
In that moment
I know those eyes will be mine forever

In collaboration with the dearest babe, Soraya. 

Monday 19 October 2015

#6 Bila dan Jika

Bila dan Jika bertemu di Semesta.

Bukan, ini bukan metafora melainkan harfiah. Bila, perempuan di usia awal 20; senyum secerah langit musim panas, mata seteduh pohon beringin belakang sekolah. Jika, lelaki di usia pertengahan 20; beraroma seperti kopi dan masa lalu, seorang barista di sebuah kedai bernama Semesta.

Saat Jika menyapa, Bila tersenyum.

Secangkir kopi mengikuti duduknya Bila di sudut Semesta. Cappuccino. Standar memang, minuman kopi campur susu dengan hiasan berbentuk daun diatasnya yang dibuat dari hasil percampuran krim dengan busa dan tangan dingin Jika. Standar. Lagipula Bila memang standar seperti itu, ini menurut Bila sendiri tentu saja.

Menurut Jika, lain lagi. Bila adalah segala hal spesial bercampur dalam bentuk seorang perempuan. Lebih spesial daripada martabak dengan 3 butir telur bebek. Lebih spesial daripada promo spesial supermarket-supermarket menjelang hari raya. Lebih spesial daripada paket ayam goreng plus nasi di restoran fastfood sebelah. Bila adalah… Bila.

Bila akan duduk di sudut itu selama berjam-jam berhadapan dengan laptopnya, sesekali mencoretkan sesuatu diatas notebook dengan cover kulit sintetis. Sesekali menyesap cappuccinonya. Sesekali mengerutkan dahi. Sesekali mengetukkan jemari diatas meja kayu. Dan sesekali memanggil Jika untuk memesan sepotong cheese cake atau pai apel.

Dan Jika, Jika hanya akan berada di tempatnya, membuatkan kopi untuk para pelanggan. Sesekali mengantarkan pesanan. Sesekali mengobrol dengan pelanggan. Sesekali menjadi kasir dadakan. Sering kali mencuri pandang kearah Bila, penasaran apa yang sedang ia lakukan dibalik laptop berlambang apel yang sudah tergigit itu.

Menuliskah ia? Membacakah ia? Menggambarkah ia?

Jika tidak pernah memiliki jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena dalam setiap kesempatan dimana ia menghampiri meja Bila dengan secangkir kopi atau sepotong cheese cake, Bila selalu menutup laptopnya seolah apa yang sedang ia kerjakan adalah tugas rahasia dari presiden.

“Terimakasih” Bila selalu berkata dengan menyum, menunggu Jika kembali ke tempatnya sebelum membuka kembali laptop berlambang apel.

Bila selalu berhasil menggelitik rasa penasaran Jika. Bila adalah misteri, tapi bukan jenis misteri yang seram seperti dalam serial Goosebumps—buku bacaan Jika saat SD dulu. Bila adalah misteri seperti edelweiss adalah misteri. Bila adalah… Bila.

***

Bila tidak tahu sejak kapan karya-karyanya berubah menjadi sebuah koleksi candid portrait seorang barista bernama aneh itu. Ya, namanya Jika. Ia tahu dari plat nama plastik yang menempel di apron si barista bernama aneh saat dia mengantarkan cappuccino pesanannya.

Orangtua macam apa yang member nama anaknya Jika?

Seperti sebuah cerita dengan ending yang menggantung, nama itu rasanya seperti mengawang-awang. Jika… Jika hujan turun? Jika matahari terbit dari barat? Jika ku mati, kau juga mati?

Jika, Jika, Jika…

Ugh, rasanya Bila ingin mengantukkan kepalanya ke dinding Semesta saja.

Dicoretkannya pensil diatas notebook dengan frustasi. Garis demi garis tertoreh membentuk wajah seseorang. Seorang pria. Seorang pria dengan apron coklat dan mata sehitam espresso.

Sial. Bila merobek kertas itu dari bukunya dan meremasnya gemas. Kenapa ia malah menggambar Jika lagi?

***

Pukul 4 sore biasanya Bila meminta bill.

Ia kemudian akan membawa bill tersebut ke kasir sebelum akhirnya melangkah keluar Semesta, meninggalkan Jika yang lagi-lagi harus puas hanya dengan mencuri pandang dari jauh kearahnya. Begitu saja, tanpa tambahan apa-apa.

Hari ini pun begitu. Bila mengangkat tangannya, memanggil waiter, meminta bill, waiter memberikan bill, Bila membaca bill itu sesaat lalu menyelipkan sejumlah uang dan membawanya ke kasir, kemudian pergi.

Dan Jika, Jika masih di tempatnya, bersiap membuatkan pesanan pelanggan baru yang datang sesaat setelah Bila pergi.

Jika sedang sibuk meracik segelas frappucino saat salah seorang rekan kerjanya mendaratkan tepukan ringan di bahunya. “Apa?” katanya.

Rekannya tidak berkata apa-apa, melainkan hanya menyerahkan sebuah kertas lecek yang terlipat jadi dua. Ia menatap Jika dengan senyum penuh arti kemudian mengarahkan dagunya ke sudut tempat Bila biasa duduk.

“Kayaknnya barista kita punya fans nih”

Jika menuangkan frappucino racikannya ke gelas saji dan mengelap tangan ke apron sebelum menerima kertas tersebut dengan perasaan aneh. Siapa yang nge-fans dengan siapa? Dibukanya lipatan kertas dengan hati-hati, seolah ia sedang membuka gulungan sejarah peninggalan kerajaan zaman dulu.

Apa yang tertoreh diatas kertas itu berhasil menghapus perasaan anehnya tadi dan menggantinya dengan sebuah senyuman lebar di wajah. Masa bodoh kalau ia dianggap gila oleh rekannya maupun pelanggan yang sedang menunggu minuman mereka diracik olehnya karena dirinya yang tiba-tiba tersenyum seperti itu.

Satu-satunya yang ia pedulikan sekarang hanyalah coretan pensil yang membentuk wajahnya diatas kertas lecek tersebut. Dan Bila.

***

Bila tidak pernah merasa mencari apapun, tapi ia mendapati dirinya menemukan.

Jika tidak pernah merasa dirinya menemukan apapun, dan kini ia mendapati dirinya mencari.


Wednesday 7 October 2015

#5 Don't Talk to Strangers on The Internet

Your mother used to tell you that you shouldn’t talk to strangers on the internet for he might be a 40 year old bald man who intended to kidnap you and tie you on a chair inside his dark cramped basement somewhere only God knows. For she might be a lesbian pedophile whose only purpose is drive her way into your body and stain you with her sin. For they might be a predator that would (and could) eat you up alive.

But, does your mother ever told you about this one? The one whose words feel more calming than the smell of rain on a lazy Sunday morning. The one whose words taste like ice cream on a hot summer days. The one whose words would echoes inside your head like a broken record playing on repeat (you’d remember every single damn of letters and punctuation they used on it, oh boy, you would). The one whose words you knew would slice your heart open when they leave but you also knew that you wouldn’t mind the bleeding and the numbing pain you’d feel.

I love you.

It’ll feel real, fuck it’ll feel so damn real. It’s as if you could clearly hear their voice whispering those words on your ear with their sleepy voice every morning. It’s as if they’re here, lying on the vacant side of your bed, arms wrapped around your waist, face nestled on the crook of your neck, and lips slightly brushed on your skin making your heart beats 10 times faster than its usual tempo. It’s as if you could feel their skin just right on your fingertips.

It’s as if they’re here.

Except they’re not. I love you.  No, the words doesn’t roll down their tongue coated in their sleepy voice greeting you the same way the sun greets the earth every morning. Instead it came on a form of digitally transmitted electromagnetic signal that is a plain Arial on your dimly lit phone screen. They’re not here. They won’t ever be here.

I love you too, but I wish I don’t.

Your mother used to tell you that you shouldn’t talk to strangers on the internet for they might be dangerous in every logical reason there is. But what she didn’t tell you is that they could make you fall deep in love with them in every illogical reason there is. And that, my dear, is far more dangerous than those things she used to tell you.