Tuesday 19 January 2016

#12 Calm Me With Your Rage

We’re toxic as hell.
With you, it’s always thunderstorms and lightning bolts.
You screamed at me. I screamed at you.
Head to head. Chest to chest. Eyes to eyes.
Filled with hatred. Frustration. Desperation.

Want. Longing. Passion.

The next time I know, my back is already against the cold wall, your hands are clamped on my wrist, and our lips are claiming what’s theirs.

Ravish me.
Make me yours.

Calm me with your rage.

Now Playing: Love The Way You Lie - Eminem f.t. Rihanna

Tuesday 12 January 2016

#11 Jika dan Bila

A sequel to Bila dan Jika

***

Ketika Jika dan Bila akhirnya bicara

Cappuccino… terbuat dari apa?”

Hanya itu. Bila mendongak sedikit menatap Jika yang berdiri di sisi mejanya sesaat setelah lelaki itu mengantarkan pesanannya. Seperti biasa, cappuccino. Standar.

Bodoh, jelas dari kopi lah. Tidak Mungkin kan cappuccino terbuat dari anggur? benak Bila menyergah cepat sesaat setelah kalimat tadi meluncur keluar dari mulutnya.

Espresso,” jawab Jika berusaha se-kasual mungkin, meski ia tidak menyangkal ada sesuatu dalam dirinya yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. “Dasar dari hampir seluruh sajian kopi adalah espresso. Setidaknya semua sajian kopi yang ada di kedai ini”

Espresso. Bila menatap manik sang barista. Seperti matamu?

“Namamu,” Bila kembali membuka mulutnya. “Unik”

Jika hampir secara refleks menyentuh plat nama plastic yang menempel di apronnya kemudian tersenyum samar. “Aneh, ya?”

Lelaki bernama unik, bermata espresso, dan beraroma kopi. Bagi Bila, tidak ada yang aneh dengan semua itu. Kalau ada satu kata yang bisa mendeskripsikan Jika, kata itu pasti bukan ‘aneh’. Tapi menarik. Ya, Jika menarik.

“Tidak, tidak. Aku bilang unik, bukan unik aneh tapi unik seperti… Mm… Seperti espresso?”
Jika menautkan kedua alisnya meski senyum di bibirnya terlihat makin nyata.

“Jika—namamu itu—dasar dari semua. Unik. Jika bisa menjadi apa saja. Karena ‘jika’ adalah asumsi. Andai-andai. Asumsi bisa jadi apa saja, toh itu hanya asumsi. Semuanya berawal dari asumsi—dari Jika” saat menyelesaikan kalimatnya Bila baru sadar ia menatap Jika tanpa berkedip sedari tadi.

Mata espresso itu. Ah, Bila ingin menikmatinya perlahan-lahan seperti menikmati secangkir kopi yang masih panas.

“Aku tidak tahu namamu” ujar Jika.

Baru Bila berkedip. Kali ini giliran jantungnya yang mendapat dorongan untuk berdegup melampaui tempo normalnya, entah apa dan entah kenapa.

“Namaku…” Bila terdiam beberapa detik sebelum melanjutkan. “Bila”

Jika tersenyum. Bila mengikuti.


Dan begitu saja. Jika dan Bila bertemu di Semesta, berbicara, memulai sebuah kisah.

#10 Hesitation Mark


For so many times, I’ve been hesitating to touch the paper with the ink of my pen,
Like you hesitated to touch my skin with the tip of your fingers

But when they finally did, not even hell could stop what they do.
And I don’t want them to, either

Cause if my skin was the paper, I’d be begging for you to write your poetry on me.