Monday, 19 October 2015

#6 Bila dan Jika

Bila dan Jika bertemu di Semesta.

Bukan, ini bukan metafora melainkan harfiah. Bila, perempuan di usia awal 20; senyum secerah langit musim panas, mata seteduh pohon beringin belakang sekolah. Jika, lelaki di usia pertengahan 20; beraroma seperti kopi dan masa lalu, seorang barista di sebuah kedai bernama Semesta.

Saat Jika menyapa, Bila tersenyum.

Secangkir kopi mengikuti duduknya Bila di sudut Semesta. Cappuccino. Standar memang, minuman kopi campur susu dengan hiasan berbentuk daun diatasnya yang dibuat dari hasil percampuran krim dengan busa dan tangan dingin Jika. Standar. Lagipula Bila memang standar seperti itu, ini menurut Bila sendiri tentu saja.

Menurut Jika, lain lagi. Bila adalah segala hal spesial bercampur dalam bentuk seorang perempuan. Lebih spesial daripada martabak dengan 3 butir telur bebek. Lebih spesial daripada promo spesial supermarket-supermarket menjelang hari raya. Lebih spesial daripada paket ayam goreng plus nasi di restoran fastfood sebelah. Bila adalah… Bila.

Bila akan duduk di sudut itu selama berjam-jam berhadapan dengan laptopnya, sesekali mencoretkan sesuatu diatas notebook dengan cover kulit sintetis. Sesekali menyesap cappuccinonya. Sesekali mengerutkan dahi. Sesekali mengetukkan jemari diatas meja kayu. Dan sesekali memanggil Jika untuk memesan sepotong cheese cake atau pai apel.

Dan Jika, Jika hanya akan berada di tempatnya, membuatkan kopi untuk para pelanggan. Sesekali mengantarkan pesanan. Sesekali mengobrol dengan pelanggan. Sesekali menjadi kasir dadakan. Sering kali mencuri pandang kearah Bila, penasaran apa yang sedang ia lakukan dibalik laptop berlambang apel yang sudah tergigit itu.

Menuliskah ia? Membacakah ia? Menggambarkah ia?

Jika tidak pernah memiliki jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena dalam setiap kesempatan dimana ia menghampiri meja Bila dengan secangkir kopi atau sepotong cheese cake, Bila selalu menutup laptopnya seolah apa yang sedang ia kerjakan adalah tugas rahasia dari presiden.

“Terimakasih” Bila selalu berkata dengan menyum, menunggu Jika kembali ke tempatnya sebelum membuka kembali laptop berlambang apel.

Bila selalu berhasil menggelitik rasa penasaran Jika. Bila adalah misteri, tapi bukan jenis misteri yang seram seperti dalam serial Goosebumps—buku bacaan Jika saat SD dulu. Bila adalah misteri seperti edelweiss adalah misteri. Bila adalah… Bila.

***

Bila tidak tahu sejak kapan karya-karyanya berubah menjadi sebuah koleksi candid portrait seorang barista bernama aneh itu. Ya, namanya Jika. Ia tahu dari plat nama plastik yang menempel di apron si barista bernama aneh saat dia mengantarkan cappuccino pesanannya.

Orangtua macam apa yang member nama anaknya Jika?

Seperti sebuah cerita dengan ending yang menggantung, nama itu rasanya seperti mengawang-awang. Jika… Jika hujan turun? Jika matahari terbit dari barat? Jika ku mati, kau juga mati?

Jika, Jika, Jika…

Ugh, rasanya Bila ingin mengantukkan kepalanya ke dinding Semesta saja.

Dicoretkannya pensil diatas notebook dengan frustasi. Garis demi garis tertoreh membentuk wajah seseorang. Seorang pria. Seorang pria dengan apron coklat dan mata sehitam espresso.

Sial. Bila merobek kertas itu dari bukunya dan meremasnya gemas. Kenapa ia malah menggambar Jika lagi?

***

Pukul 4 sore biasanya Bila meminta bill.

Ia kemudian akan membawa bill tersebut ke kasir sebelum akhirnya melangkah keluar Semesta, meninggalkan Jika yang lagi-lagi harus puas hanya dengan mencuri pandang dari jauh kearahnya. Begitu saja, tanpa tambahan apa-apa.

Hari ini pun begitu. Bila mengangkat tangannya, memanggil waiter, meminta bill, waiter memberikan bill, Bila membaca bill itu sesaat lalu menyelipkan sejumlah uang dan membawanya ke kasir, kemudian pergi.

Dan Jika, Jika masih di tempatnya, bersiap membuatkan pesanan pelanggan baru yang datang sesaat setelah Bila pergi.

Jika sedang sibuk meracik segelas frappucino saat salah seorang rekan kerjanya mendaratkan tepukan ringan di bahunya. “Apa?” katanya.

Rekannya tidak berkata apa-apa, melainkan hanya menyerahkan sebuah kertas lecek yang terlipat jadi dua. Ia menatap Jika dengan senyum penuh arti kemudian mengarahkan dagunya ke sudut tempat Bila biasa duduk.

“Kayaknnya barista kita punya fans nih”

Jika menuangkan frappucino racikannya ke gelas saji dan mengelap tangan ke apron sebelum menerima kertas tersebut dengan perasaan aneh. Siapa yang nge-fans dengan siapa? Dibukanya lipatan kertas dengan hati-hati, seolah ia sedang membuka gulungan sejarah peninggalan kerajaan zaman dulu.

Apa yang tertoreh diatas kertas itu berhasil menghapus perasaan anehnya tadi dan menggantinya dengan sebuah senyuman lebar di wajah. Masa bodoh kalau ia dianggap gila oleh rekannya maupun pelanggan yang sedang menunggu minuman mereka diracik olehnya karena dirinya yang tiba-tiba tersenyum seperti itu.

Satu-satunya yang ia pedulikan sekarang hanyalah coretan pensil yang membentuk wajahnya diatas kertas lecek tersebut. Dan Bila.

***

Bila tidak pernah merasa mencari apapun, tapi ia mendapati dirinya menemukan.

Jika tidak pernah merasa dirinya menemukan apapun, dan kini ia mendapati dirinya mencari.


5 comments:

  1. Aaaakkkkkkk ini baru cerpen!!! Dabes deh 😍😍😍

    ReplyDelete
  2. Aku sukaaaaa.. Ada lanjutannya ga?? Cepet mauu

    ReplyDelete
  3. Aku sukaaaaa.. Ada lanjutannya ga?? Cepet mauu

    ReplyDelete
  4. Gak ada nad :( ntar bikin lagi deh yg baru(?)

    ReplyDelete