Bila dan Jika bertemu
di Semesta.
Bukan, ini bukan
metafora melainkan harfiah. Bila, perempuan di usia awal 20; senyum secerah
langit musim panas, mata seteduh pohon beringin belakang sekolah. Jika, lelaki
di usia pertengahan 20; beraroma seperti kopi dan masa lalu, seorang barista di
sebuah kedai bernama Semesta.
Saat Jika menyapa, Bila
tersenyum.
Secangkir kopi
mengikuti duduknya Bila di sudut Semesta. Cappuccino.
Standar memang, minuman kopi campur susu dengan hiasan berbentuk daun diatasnya
yang dibuat dari hasil percampuran krim dengan busa dan tangan dingin Jika.
Standar. Lagipula Bila memang standar seperti itu, ini menurut Bila sendiri tentu
saja.
Menurut Jika, lain
lagi. Bila adalah segala hal spesial bercampur dalam bentuk seorang perempuan.
Lebih spesial daripada martabak dengan 3 butir telur bebek. Lebih spesial
daripada promo spesial supermarket-supermarket menjelang hari raya. Lebih
spesial daripada paket ayam goreng plus nasi di restoran fastfood sebelah. Bila
adalah… Bila.
Bila akan duduk di
sudut itu selama berjam-jam berhadapan dengan laptopnya, sesekali mencoretkan
sesuatu diatas notebook dengan cover
kulit sintetis. Sesekali menyesap cappuccinonya. Sesekali mengerutkan dahi.
Sesekali mengetukkan jemari diatas meja kayu. Dan sesekali memanggil Jika untuk
memesan sepotong cheese cake atau pai
apel.
Dan Jika, Jika hanya
akan berada di tempatnya, membuatkan kopi untuk para pelanggan. Sesekali
mengantarkan pesanan. Sesekali mengobrol dengan pelanggan. Sesekali menjadi
kasir dadakan. Sering kali mencuri pandang kearah Bila, penasaran apa yang
sedang ia lakukan dibalik laptop berlambang apel yang sudah tergigit itu.
Menuliskah ia?
Membacakah ia? Menggambarkah ia?
Jika tidak pernah
memiliki jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena dalam setiap
kesempatan dimana ia menghampiri meja Bila dengan secangkir kopi atau sepotong
cheese cake, Bila selalu menutup laptopnya seolah apa yang sedang ia kerjakan
adalah tugas rahasia dari presiden.
“Terimakasih” Bila
selalu berkata dengan menyum, menunggu Jika kembali ke tempatnya sebelum
membuka kembali laptop berlambang apel.
Bila selalu berhasil
menggelitik rasa penasaran Jika. Bila adalah misteri, tapi bukan jenis misteri
yang seram seperti dalam serial Goosebumps—buku
bacaan Jika saat SD dulu. Bila adalah misteri seperti edelweiss adalah misteri. Bila adalah… Bila.
***
Bila tidak tahu sejak
kapan karya-karyanya berubah menjadi sebuah koleksi candid portrait seorang barista bernama aneh itu. Ya, namanya
Jika. Ia tahu dari plat nama plastik yang menempel di apron si barista bernama
aneh saat dia mengantarkan cappuccino
pesanannya.
Orangtua macam apa yang
member nama anaknya Jika?
Seperti sebuah cerita
dengan ending yang menggantung, nama itu rasanya seperti mengawang-awang. Jika…
Jika hujan turun? Jika matahari terbit dari barat? Jika ku mati, kau juga mati?
Jika,
Jika, Jika…
Ugh, rasanya Bila ingin
mengantukkan kepalanya ke dinding Semesta saja.
Dicoretkannya pensil
diatas notebook dengan frustasi. Garis demi garis tertoreh membentuk wajah
seseorang. Seorang pria. Seorang pria dengan apron coklat dan mata sehitam
espresso.
Sial. Bila merobek
kertas itu dari bukunya dan meremasnya gemas. Kenapa ia malah menggambar Jika
lagi?
***
Pukul 4 sore biasanya
Bila meminta bill.
Ia kemudian akan
membawa bill tersebut ke kasir
sebelum akhirnya melangkah keluar Semesta, meninggalkan Jika yang lagi-lagi
harus puas hanya dengan mencuri pandang dari jauh kearahnya. Begitu saja, tanpa
tambahan apa-apa.
Hari ini pun begitu.
Bila mengangkat tangannya, memanggil waiter, meminta bill, waiter memberikan bill,
Bila membaca bill itu sesaat lalu
menyelipkan sejumlah uang dan membawanya ke kasir, kemudian pergi.
Dan Jika, Jika masih di
tempatnya, bersiap membuatkan pesanan pelanggan baru yang datang sesaat setelah
Bila pergi.
Jika sedang sibuk
meracik segelas frappucino saat salah
seorang rekan kerjanya mendaratkan tepukan ringan di bahunya. “Apa?” katanya.
Rekannya tidak berkata
apa-apa, melainkan hanya menyerahkan sebuah kertas lecek yang terlipat jadi
dua. Ia menatap Jika dengan senyum penuh arti kemudian mengarahkan dagunya ke
sudut tempat Bila biasa duduk.
“Kayaknnya barista kita
punya fans nih”
Jika menuangkan frappucino racikannya ke gelas saji dan
mengelap tangan ke apron sebelum menerima kertas tersebut dengan perasaan aneh.
Siapa yang nge-fans dengan siapa? Dibukanya lipatan kertas dengan hati-hati,
seolah ia sedang membuka gulungan sejarah peninggalan kerajaan zaman dulu.
Apa yang tertoreh
diatas kertas itu berhasil menghapus perasaan anehnya tadi dan menggantinya
dengan sebuah senyuman lebar di wajah. Masa bodoh kalau ia dianggap gila oleh
rekannya maupun pelanggan yang sedang menunggu minuman mereka diracik olehnya
karena dirinya yang tiba-tiba tersenyum seperti itu.
Satu-satunya yang ia pedulikan
sekarang hanyalah coretan pensil yang membentuk wajahnya diatas kertas lecek
tersebut. Dan Bila.
***
Bila
tidak pernah merasa mencari apapun, tapi ia mendapati dirinya menemukan.
Jika
tidak pernah merasa dirinya menemukan apapun, dan kini ia mendapati dirinya
mencari.
Aaaakkkkkkk ini baru cerpen!!! Dabes deh 😍😍😍
ReplyDeleteWkwkwk jadi maloe :$ makasih restuy
DeleteAku sukaaaaa.. Ada lanjutannya ga?? Cepet mauu
ReplyDeleteAku sukaaaaa.. Ada lanjutannya ga?? Cepet mauu
ReplyDeleteGak ada nad :( ntar bikin lagi deh yg baru(?)
ReplyDelete