“Halo?”
Seorang
gadis berdiri di dalam kotak kaca, mencengkram erat gagang telepon, menggigit
bibirnya, menahan tangis yang sedikit lagi akan pecah.
“Apa
kabar?”
Hanya
dua kata yang membalas sapaannya untuk seseorang di ujung sana. Dua kata, dan
gadis itu hampir yakin ia bisa merasakan air mata meleleh membasahi kedua
pipinya yang dingin diterpa angin sore itu. Dua kata yang terucap oleh satu
suara lemah yang keluar dari corong telepon umum yang dicengkramnya erat.
Suara
itu. Ia ingin pulang—ingin sekali pulang. Ke rumahnya; ke pelukan lelaki
bersuara lemah diujung sambungan telepon.
Tapi
ia adalah gadis yang kuat. Buktinya, ia bisa pergi meninggalkan kekasihnya
ribuan kilometer jauhnya demi meraih mimpi di negeri yang dulu pernah menjajah
bangsanya. Sendiri, tanpa siapapun disini selain dirinya dan mesin telepon yang
menjadi penyambung rindunya kepada sang lelaki.
Gadis yang kuat tidak boleh
menangis, ia berkali-kali mengucap kepada diri sendiri.
“Aku
baik… kamu?”
Aku rindu kamu. Aku ingin pulang. Aku
tidak mau berada disini.
“Aku
pun. Bagaimana disana?”
Gadis
itu menarik nafas panjang. Terlalu dingin disini tanpa pelukmu. Terlalu sepi
disini tanpa hadirmu. Aku rindu kamu. Aku
ingin pulang. Aku tidak mau berada disini.
“Disini…
menyenangkan. Aku belajar banyak hal baru, mendapat banyak teman baru pula…”
Gadis yang kuat tidak boleh
menangis.
“Senang
mendengarnya” lelaki diujung sambungan telepon tertawa pelan. Air mata yang
jatuh membasahi pipi sang gadis mengalir semakin deras.
“Bagaimana
kondisimu? Sudah mendingan?” gadis itu bertanya.
Terdengar
tarikan nafas panjang diujung sana. Gadis itu tahu jawabannya, dan ia tidak
menyukai pengetahuan itu. Ia ingin berpura-pura bahwa diujung sana lelakinya
sedang menunggunya dengan senyum cerah dan lengan yang akan memeluknya erat
ketika ia pulang nanti. Ia ingin berpura-pura lelakinya tidak sedang terbaring
lemah menghitung detik demi detik, berharap semoga ia masih bisa memeluk sang
gadis ketika mereka bertemu nanti. Ia ingin berpura-pura mereka baik-baik saja.
“Lebih
baik dari kemarin”
Mereka berdua tahu itu bohong.
“Aku
rindu kamu. Tunggu aku?”
“Pasti”
Mereka berdua tahu itu bohong.
THE END