Thursday, 2 June 2016

#14 Telepon Umum di Belanda



“Halo?”

Seorang gadis berdiri di dalam kotak kaca, mencengkram erat gagang telepon, menggigit bibirnya, menahan tangis yang sedikit lagi akan pecah.

“Apa kabar?”

Hanya dua kata yang membalas sapaannya untuk seseorang di ujung sana. Dua kata, dan gadis itu hampir yakin ia bisa merasakan air mata meleleh membasahi kedua pipinya yang dingin diterpa angin sore itu. Dua kata yang terucap oleh satu suara lemah yang keluar dari corong telepon umum yang dicengkramnya erat.

Suara itu. Ia ingin pulang—ingin sekali pulang. Ke rumahnya; ke pelukan lelaki bersuara lemah diujung sambungan telepon.

Tapi ia adalah gadis yang kuat. Buktinya, ia bisa pergi meninggalkan kekasihnya ribuan kilometer jauhnya demi meraih mimpi di negeri yang dulu pernah menjajah bangsanya. Sendiri, tanpa siapapun disini selain dirinya dan mesin telepon yang menjadi penyambung rindunya kepada sang lelaki.

Gadis yang kuat tidak boleh menangis, ia berkali-kali mengucap kepada diri sendiri.

“Aku baik… kamu?”

Aku rindu kamu. Aku ingin pulang. Aku tidak mau berada disini.

“Aku pun. Bagaimana disana?”

Gadis itu menarik nafas panjang. Terlalu dingin disini tanpa pelukmu. Terlalu sepi disini tanpa hadirmu. Aku rindu kamu. Aku ingin pulang. Aku tidak mau berada disini.

“Disini… menyenangkan. Aku belajar banyak hal baru, mendapat banyak teman baru pula…”

Gadis yang kuat tidak boleh menangis.

“Senang mendengarnya” lelaki diujung sambungan telepon tertawa pelan. Air mata yang jatuh membasahi pipi sang gadis mengalir semakin deras.

“Bagaimana kondisimu? Sudah mendingan?” gadis itu bertanya.

Terdengar tarikan nafas panjang diujung sana. Gadis itu tahu jawabannya, dan ia tidak menyukai pengetahuan itu. Ia ingin berpura-pura bahwa diujung sana lelakinya sedang menunggunya dengan senyum cerah dan lengan yang akan memeluknya erat ketika ia pulang nanti. Ia ingin berpura-pura lelakinya tidak sedang terbaring lemah menghitung detik demi detik, berharap semoga ia masih bisa memeluk sang gadis ketika mereka bertemu nanti. Ia ingin berpura-pura mereka baik-baik saja.

“Lebih baik dari kemarin”

Mereka berdua tahu itu bohong.

“Aku rindu kamu. Tunggu aku?”

“Pasti”

Mereka berdua tahu itu bohong.


THE END