***
Ketika
Jika dan Bila akhirnya bicara
“Cappuccino… terbuat dari apa?”
Hanya
itu. Bila mendongak sedikit menatap Jika yang berdiri di sisi mejanya sesaat
setelah lelaki itu mengantarkan pesanannya. Seperti biasa, cappuccino. Standar.
Bodoh, jelas dari kopi lah. Tidak
Mungkin kan cappuccino terbuat dari anggur? benak Bila
menyergah cepat sesaat setelah kalimat tadi meluncur keluar dari mulutnya.
“Espresso,” jawab Jika berusaha se-kasual
mungkin, meski ia tidak menyangkal ada sesuatu dalam dirinya yang membuat
jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. “Dasar dari hampir seluruh
sajian kopi adalah espresso.
Setidaknya semua sajian kopi yang ada di kedai ini”
Espresso.
Bila menatap manik sang barista. Seperti
matamu?
“Namamu,”
Bila kembali membuka mulutnya. “Unik”
Jika
hampir secara refleks menyentuh plat nama plastic yang menempel di apronnya
kemudian tersenyum samar. “Aneh, ya?”
Lelaki
bernama unik, bermata espresso, dan beraroma kopi. Bagi Bila, tidak ada yang
aneh dengan semua itu. Kalau ada satu kata yang bisa mendeskripsikan Jika, kata
itu pasti bukan ‘aneh’. Tapi menarik. Ya, Jika menarik.
“Tidak,
tidak. Aku bilang unik, bukan unik aneh tapi unik seperti… Mm… Seperti espresso?”
Jika
menautkan kedua alisnya meski senyum di bibirnya terlihat makin nyata.
“Jika—namamu
itu—dasar dari semua. Unik. Jika bisa menjadi apa saja. Karena ‘jika’ adalah
asumsi. Andai-andai. Asumsi bisa jadi apa saja, toh itu hanya asumsi. Semuanya
berawal dari asumsi—dari Jika” saat menyelesaikan kalimatnya Bila baru sadar ia
menatap Jika tanpa berkedip sedari tadi.
Mata
espresso itu. Ah, Bila ingin
menikmatinya perlahan-lahan seperti menikmati secangkir kopi yang masih panas.
“Aku
tidak tahu namamu” ujar Jika.
Baru
Bila berkedip. Kali ini giliran jantungnya yang mendapat dorongan untuk
berdegup melampaui tempo normalnya, entah apa dan entah kenapa.
“Namaku…”
Bila terdiam beberapa detik sebelum melanjutkan. “Bila”
Jika
tersenyum. Bila mengikuti.
Dan
begitu saja. Jika dan Bila bertemu di Semesta, berbicara, memulai sebuah kisah.