Kita pernah begitu, dulu. Berseragam putih abu-abu,
dibawah langit mendung dan hujan yang jatuh mengguyur jalan. Aku berbalut
jaketmu, kamu berbalut pelukanku.
Ingatkah kamu? Hari itu hari Rabu. Kita basah kuyup dan
akhirnya menyerah pada alam yang sedang mandi, memilih berhenti dan berteduh
dibawah atap emperan toko buku. Menonton satu-satu air jatuh membentur tanah,
mengaliri jalan, membentuk sungai impromptu sebelum akhirnya masuk membanjiri
selokan.
Aku ingat. Ya, aku ingat kamu. Kamu dan rambutmu yang
dihiasi bulir-bulir air hujan. Kamu dan buku tulis Sejarah yang tiba-tiba
dikeluarkan dari ransel.
Aku mau buat
perahu, begitu katamu waktu itu.
Aku tertawa. Boleh
juga idemu, aku mau satu.
Kamu tersenyum, dan memberikanku satu kertas dari robekan
buku Sejarahmu.
Kamu buat satu perahu. Aku buat satu perahu.
Mau dilayarkan
dimana? tanyaku.
Lihat saja. Katamu, lalu membungkuk dan meletakkan perahu buatanmu
di sungai impromptu dekat tempat kita berteduh. Perahumu bergerak menunggangi
arus.
Aku berjongkok disampingmu dan melayarkan perahuku diatas
sungai impromptu. Aku menatapmu, kamu menatapku. Kita tertawa. Hujan belum reda
juga.
Dan dua perahu kertas, berlayar tanpa gentar mengarungi
arus deras sungai impromptu. Perahumu, dan perahuku. Perahu kita.
***
Ah, hujan selalu membuatku rindu.
Now playing: suara hujan