A spin-off from this on-going story I write "
4: The Misfortunes of Us"
Please give it a read if you may :)
Belakangan
ini Audy menemukan dirinya dibuat penasaran setengah mati oleh seorang senior
aneh bernama Panji.
Panji
Suryoatmodjo. 12 IPS 1. Kacamata. Hoodie
kedodoran. Sepatu lusuh. Rambut berantakan. Gitar. Kata-kata itu mungkin
merupakan sekian hal yang akan kalian dengar kalau kalian bertanya siapa itu
Panji kepada siswa siswi SMA Pelita Bangsa.
Panji
selalu datang tepat saat bel sekolah berbunyi membawa motor vespanya yang
terlihat antik dengan tas gitar nangkring
di bahunya yang kurus. Rambutnya tidak pernah rapi dan dibiarkan jatuh menutupi
setengah lensa kacamata yang ia kenakan. Sepatunya lusuh dan seragamnya selalu
dilapisi hoodie kedodoran yang hampir
setiap minggu berganti warna dan sablonan.
Audy
mengenal Panji di suatu Senin saat upacara bendera. Perkenalan mereka bukan
perkenalan klise seperti di novel-novel teenlit. Tidak. Panji bukan si anak
badung yang habis memanjat pagar sekolah karena terlambat dan terpaksa
bersembunyi di barisan adik kelas agar tidak ketahuan guru kalau dia tidak
memakai atribut upacara yang lengkap. Panji datang ke lapangan dengan santai
setelah memarkirkan vespanya, ia bahkan tidak melepas hoodie kuning cerah yang
dikenakannya hari itu dan langsung berdiri di barisan paling belakang kelas 11 IPS 1. Tepat disebelah Audy.
Audy
penasaran kenapa Panji bisa-bisanya ikut upacara dengan memakai hoodie seperti itu tanpa ditegur guru.
“Audy
Salsabila Irawan?” kemudian Panji berbisik saat Pembukaan UUD 1945 tengah
dibacakan di depan sana.
Audy
tidak yakin apakah Panji sedang berbicara dengan dirinya, tapi memangnya ada
Audy Salsabila Irawan lain di sekolah ini selain dirinya?
“Iya,
Kak?” Audy balas berbisik.
“Gak
apa. Cuma pengen memastikan kamu masih ingat nama kamu sendiri atau nggak.
Siapa tau kamu mengalami amnesia parsial”
Panji
nyengir sementara Audy hanya berdiri disitu menatap Panji dengan kebingungan
yang amat sangat.
***
Di
lain hari, Audy menemukan Panji di depan kelasnya memeluk gitar dan memetik
senarnya dengan lembut.
“Audy
Salsabila Irawan. Halo” Panji menyapanya dengan senyuman yang sama persis
dengan yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka.
Audy
yang kala itu baru kembali dari kantin bersama Sharon dan Rena hanya bisa
melengkungkan senyum aneh atas kehadiran sang senior di depan kelasnya. “Kak,
panggilnya Audy aja”
Ia
bisa mendengar Sharon terkikik pelan disisinya, sementara Rena hanya
cengengesan. Lalu dengan kurangajarnya, kedua temannya itu pamit
meninggalkannya berdua dengan Panji dengan alasan yang sungguh sangat tidak
natural (Sharon: “Dy, gue balik kelas ya. Mau ngerjain LKS dulu, bye” Sharon
tidak pernah mengerjakan LKS di sekolah, ia selalu menyelesaikan PR-nya di
rumah) (Rena: “Gue masuk ya, Dy. Mau ketemu sama Rangga” Rangga tidak sekelas
dengan Rena, Rangga sekelas dengan Sharon).
“Teman
kamu jujur-jujur ya?” komentar Panji sesaat setelah Sharon dan Rena
meninggalkan mereka berdua.
“Hah?
Maksudnya?” Audy tambah melongo.
“Mereka
gak jago ngeles, kelihatan banget lagi bohong” Panji terkekeh lalu bangkit dari
bangku kayu yang didudukinya sedari tadi. “Yaudah, saya pamit dulu ya? Saya
tadi kesini cuma mau memverifikasi informasi kalau kamu emang Audy Salsabila
Irawan yang baris disebelah saya pas upacara Senin kemarin”
“O…kay”
Audy mengangguk pelan seraya menatap Panji yang melangkah menuju tangga. “Balik
kelas, Kak?”
Panji
berhenti sejenak lalu menoleh kearah Audy. “Nggak. Mau ngamen”
Hanya
itu, lalu ia bergerak cepat menaiki tangga.
Audy
masih terdiam di tempatnya, menatap Panji hingga punggung cowok itu menghilang
dibalik belokan tangga menuju lantai tiga. Hari ini hoodie-nya ganti lagi. Warna biru tua.
***
Dari
desas-desus warga sekolah, Audy berhasil menyimpulkan satu hal tentang senior
aneh bernama Panji ini. Dia sangat jago ngeles. Ingat bagaimana Panji bisa ikut
upacara dengan mengenakan hoodie-nya
yang berwarna kuning cerah itu? Panji bilang kepada guru bahwa ia sedang
mengalami alergi dan kulitnya akan gatal-gatal kalau terkena udara luar dan
sinar matahari (yang Audy heran, kenapa sang guru dengan mudahnya percaya).
Panji juga selalu punya 1001 alasan setiap kali ia tertangkap oleh kesiswaan
karena atribut seragamnya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan peraturan yang
ada. Entah itu gespernya rusak karena dipakai buat melempar anjing yang
mengejarnya saat perjalanan ke sekolah, kaus kakinya yang hilang dicuri
tetangga dari jemuran di rumahnya, sampai sepatunya yang bolong digigiti tikus
jadi ia terpaksa mengenakan sepatu berwarna tidak hitam hari itu. Intinya, ia
hampir selalu lolos dari pengawasan para guru kesiswaan tersebut.
Selain
itu, dari desas-desus yang sama Audy juga mengetahui kebiasaan aneh Panji,
yaitu menghilang. Bukan menghilang secara tiba-tiba seperti jin, tapi Panji
seringkali ditemukan ngeloyor keluar kelas bersama gitarnya saat jam makan
siang dan tidak kembali lagi sampai jam pelajaran terakhir. Tidak ada yang tahu
pasti anak itu kemana, dan tidak ada juga yang mau repot mencari tahu.
Tapi
Audy ingin tahu.
Jadi
hari ini, Audy diam-diam menyelinap keluar kelas tepat saat bel makan siang
berbunyi dan menunggu di balik tembok dekat kelas Panji berada. Begitu dilihatnya sosok Panji keluar kelas
dengan gitarnya, Audy langsung membuntuti cowok itu dari belakang.
Panji
menaiki tangga. Audy mengikuti.
Panji
berbelok kearah lab komputer. Audy masih mengikuti.
Panji
memasuki bagian lorong tersepi diseluruh area SMA Bangsa. Audy terus mengikuti
meski perasaannya mulai tidak enak.
Panji
memasuki ruangan gudang di pojok lantai tiga. Audy menghentikan langkahnya.
Ngapain dia ke gudang?
Audy
melangkah dengan ragu menuju pintu gudang. Di dengarnya Panji seperti berbicara
dengan seseorang (atau sesuatu?) kemudian tak lama, suara petikan gitar pun
terdengar. Lalu disusul dengan satu suara lagi; suara Panji yang sedang
menyanyikan sebuah lagu.
Audy
memberanikan diri mengintip dari balik pintu gudang yang setengah terbuka.
Dilihatnya Panji sedang duduk di salahsatu bangku tua, bersama gitarnya,
bernyanyi. Di hadapannya ada kotak kardus bekas berisi anak-anak kucing yang
mengeong pelan mengiringi lagu yang sedang ia mainkan.
“Halo,
Audy”
Audy
tersentak saat Panji berhenti bermain dan menoleh kearahnya dengan sebentuk
cengiran di wajahnya. Mata cowok itu terlengkung seperti bulan sabit dibalik
lensa kacamata yang dikenakannya, dan saat itu Audy merasa jantungnya berdegup
lebih kencang dari tempo yang seharusnya.
“M-maaf
kak. Aku… Aku..”
“Sini
yuk. Kenalan sama teman-teman saya”
Sebuah
undangan. Audy masih terdiam di depan pintu menatap Panji, lalu anak-anak
kucing kecil yang mengeong halus di sebuah kotak kardus bekas.
“Ayo,
gak usah malu-malu” Panji menatap Audy dengan sorot hangat yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Audy luluh.
“Sini
duduk,” Panji menarik satu bangku lagi ke sisinya dan menepuk-nepuknya.
Lagi-lagi sebuah undangan.
Audy
menyerah, ia melangkah masuk ke dalam gudang tersebut dan duduk di bangku
sebelah Panji sementara Panji lanjut bersenandung untuk anak-anak kucing yang
tampaknya yatim piatu itu. Dan untuk Audy.
Andai matamu melihat aku
Terungkap semua isi hatiku
Alam sadarku, alam mimpiku
Semua milkmu, andai kau tau…
Nowplaying: Nidji - Rahasia Hati